WANITA PSIKOPAT
Hmm, jadi begini ceritanya.
Dua hari lalu, seorang cewek di kelas gue yang namanya Lena melompat dari lantai atap gedung sekolah kami. Di bawah, dia ditemukan dengan banyak sayatan di lengannya, lengkap dengan sebuah pisau pendek di genggaman tangannya. Kejadian tersebut terjadi di sore hari, sekitar pukul 4 menurut perhitunganku.
Guru-guru telat mengetahui kejadian itu, baru datang ke lapangan, tempat TKP ketika beberapa murid kelas gue melihat tubuh Lena tergeletak di pinggir lapangan. Polisi dan ambulan pun telat datang, mayat Lena sudah terlebih dahulu dikerubungi oleh banyak siswa yang belum sekolah (mayoritas cowok tentunya) sebelum ia sempat diperiksa polisi dan diangkut ke rumah sakit.
Esoknya, sekolah hanya berlangsung setengah hari, atau lebih tepatnya hanya sampai istirahat pertama. Pada istirahat pertama, terjadi kejadian yang lebih hebat (menurut gue) dibanding kejadian sebelumnya. Kali ini, pacar Lena, Nandi, melompat (tapi gue lebih suka bilang didorong) dari lantai atap sekolah kami dan jatuh di tempat yang sama di tempat mayat Lena terletak sebelumnya, hanya saja, ketika ditemukan oleh para guru (yang langsung menutupi TKP agar para siswa tidak melihat kondisi Nandi dan menyebarkan gosip-gosip sampah) katanya Nandi sudah tidak memiliki bola mata. Dan gue, Muhammad Yogi Pamungkas ini, bersama beberapa teman serta guru menyaksikan sendiri, sebuah toples kaca tergeletak di lantai atap, berisi dua bola mata terendam air dan darah.
Hmm, cukup menyeramkan bukan? Gue yakin ada seorang psikopat gila dibalik kedua kejadian ini!
Omong-omong kedua kejadian ini, satu SMA kami langsung diliburkan begitu Nandi ditemukan oleh guru-guru. Diliburkan sampai minggu ini selesai, berarti kami punya hari Rabu, Kamis dan Jumat waktu kosong. Meskipun begitu, kelasku, kelas asal Lena dan Nandi diwajibkan masuk bersama-sama dengan beberapa teman dekat kedua orang tersebut besok untuk diinterogasi polisi. Selain itu, kabarnya besok sore kedua teman gue itu akan segera dimakamkan.
Hmm, oke, cukup ceritanya, sekarang kembali ke keadaan gue saat ini. Jadi karena insting gue yang agak-agak nekat, gue pergi ke sekolah, jam 8 malam bersama seorang teman, cewek, cantik, seksi, manis, rambut panjang sepinggang, mata hitam kelam. Kenapa gue membawanya dan hanya berdua? Karena dia cerdik, pintar, jago analisis meskipun dia cewek dan dia tau jalan rahasia untuk masuk ke sekolah, sebenarnya tadinya kami mengajak seorang lagi, tapi kebetulan dia tidak bisa karena keperluan mendadak tiba-tiba.
So, kami berdua masuk ke sekolah, lewat sebuah pintu kecil yang terletak di dekat gudang sekolah yang terkenal angker, gue tak pernah tau keberadaan pintu itu karena tersembunyi gedung gudang (yang tak pernah didekati siapapun karena katanya angker) dan karena tertutup sebuah beringin berbatang tebal.
Gue bersamanya melewati gerbang itu, tak ada makhluk halus atau semacamnya, tapi gue agak merinding. Mengejutkannya, sekolah kami kosong, bahkan tidak terlihat ada seorang pun menjaga koridor lantai satu, hanya saja, di lapangan sudah ada wilayah yang dibatasi garis polisi dan ditandai bentuk orang, sesuai posisi jatuh Lena dan Nandi. Tak ada yang menarik untuk dilihat di sini. Omong-omong soal sekolah yang kosong, untungnya lampu di koridor lantai satu, dua dan tiga masih menyala (beberapa) sehingga kami masih bisa melihat sesuatu, seadanya.
Kami berdua naik tanpa suara hingga ke lantai 3, lalu berjalan ke arah tangga yang menuju lantai atap sekolah,
“Yog, lu yakin kita harus ke sana? Masa sih kita harus naik? Lu ga takut?”
“Ga kok, emang lu takut?”
“Lumayan.”
“Gue yakin pasti kita bisa nemuin barang bukti atau apa gitu, terutama di koridor ini atau di atap, siapa tau ada barang jatoh gitu,” balas gue sambil tersenyum, lalu melihat ke lantai. Di dekat tangga menuju lantai atap terlihat sesuatu yang berkilau, kecil, bentuknya agak bulat, seperti lonjong.
“Nah, tuh kan, apa gue bilang, nih liat gue nemuin sesuatu,” kata gue sambil mengambil barang itu. Dia diam tak menjawab.
Hmm, sebuah liontin dengan rantai emas, untuk dikalungkan di leher. Gue membuka liontin itu, “Pasti ini punya pelakunya itu deh, nih liat isi.”
Lah?
Gue mendongak, “Eh, ini punya lu Man?”
Namun yang pertama kali gue lihat adalah sorot matanya yang tajam, kejam dan dingin.
—
Yogi lari dari gue. Hahaha. Ucap manda yang sudah sangat mengerikan.
Setelah gue membuka liontin ini dan menyadari apa yang terjadi, gue tidak memberinya kesempatan untuk bereaksi dan langsung mendorongnya dengan keras ke tembok. Tentu saja dia berusaha menahan gue, tapi, ah, dia tidak sekuat itu kok, gue masih jauh lebih kuat. Untuk memberikan efek menakutkan, gue menahan tangannya, lalu menarik tangan satunya, lalu dengan sebuah dorongan keras, membantingnya ke lantai. Tanpa ekspresi apapun, datar dengan sorot mata waspada.
“Manda?!?!”
Cuma itu kata-kata yang bisa gue keluarkan ketika melihat dia membuka resleting jaketnya dan mengeluarkan pisau. Menggertak, dia mengangkat pisau itu dan berusaha menusuk gue, tentu saja sengaja agar dia bisa berkelit. Lalu, sekarang gue kabur.
“Hahaha. Iya, lari dari gue” Ucapnya yang sudah kesetanan.
Dengan berjalan santai, dia mengarah ke pintu rahasia yang sudah pasti jadi tujuan utama gue. Sampai di sana, dia melihat gue sedang berusaha menggedor dan mendobrak pintu itu, mendapati bahwa pintu itu terkunci, tidak seperti sebelumnya.
Hahaha, dia tertawa dan suasananya langsung berubah total.
Begitu melihat dia mendekat dengan pisau di tangan, gue langsung lari lagi, kali ini gue memutarinya dan menuju ke arah gerbang sekolah. Sekali lagi dia berjalan santai mengikuti gue.
Di sana, gue berusaha berteriak-teriak memanggil satpam sambil berusaha membuka gerbang sekolah yang tergembok. Ah, dalam hatinya dia ingin sekali memberitahu gue kalau satpam-satpam yang ada di gerbang parkiran sekolah sedang pulas bermimpi semua, karena habis minum kopi mengandung obat tidur tadi sore. Namun sekali lagi dia hanya memperhatikan gue yang kembali lari, menghindarinya begitu dia mendekat.
Sekarang, gue lari menuju lantai dua, tak tau lagi mau kemana, tapi dia tetap berjalan santai mengikuti arah permainan kabur gua.
“Tidak perlu takut, Hahaha, lu tidak akan bisa keluar dari sekolah ini! Ucapnya.
Ah, rupanya sekarang gue sudah sadar takan mampu kabur dari dia, dia melihat ruang kelas kami, 11 IPS-2 terang benderang oleh nyala lampu, dan yang jelas gue ada di sana. Dia masuk dan mendapati gue sedang berdiri di ujung belakang kelas sambil melihat-lihat mading yang dibuat oleh kelas kami bertopik geografi.
Melangkah dengan lebih cepat, dia datangi gue, lalu mengangkat pisau sekali lagi dan menyerang gue. Begitu dia hendak menusuk gue, dia langsung menengok ke arah gue dan memandang gue, pisau itu berhenti tepat beberapa senti dari leher gue.
Gue menghela nafas, lega sepertinya, “Gue tau lu ga bakal bunuh gue.”
Hahaha.
Dia tersenyum manis, lalu tertawa. “Ah, menyebalkan sekali, gue jadi tidak bisa pura-pura bersikap kejam lagi deh. Gimana caranya sih supaya bisa bikin lu gak yakin kalau gue tak akan membunuh lu?” ucap manda.
Gue memandang dia dengan ekspresi yang tak bisa digambarkan, sesaat kemudian dia berbalik lalu duduk di sebuah kursi di bagian depan kelas, lalu menaruh pisaunya di atas meja. Kemudian, dia menarik kursi di sebelahnya dan menepuk kursi itu, mengisyaratkan gue agar duduk di situ. Dan gue pun duduk di situ tanpa ragu-ragu.
“Yakin banget gue ga bakal tusuk lu.” Ucap manda.
“Hmm, ga tau juga, gue yakin aja.” Ucap gue yang setengah panik.
“Kepercayaan yang ga sia-sia, hahaha. Jadi ga bisa kejar-kejaran lagi deh.”
“Iya,” kata gue sambil melirik pisau di atas meja. “Omong-omong lu hebat ya Man, bisa nyerang gue secara psikologis.”
“Hahaha, contohnya? Piso di meja ini? Hahaha.” Tertawa manda sudah makin kesetanan.
“Iya, gue tau lu mau nunjukin kalo misalnya sekarang gue ambil piso ini pun gue ga bakal bisa menang lawan lu kan?”
Pintar.
“Ga tau juga sih, belum dicoba juga, hahaha. Lu mau coba ga Yog?” seru manda.
“Ga mau.” Kata gue.
Kami berdua diam sejenak. Lalu dia memulai kembali pembicaraan, “Lu ga boleh kasih tau ke siapa-siapa ya.”
“Kalo gue ga mau? Lagian lu juga ga bakal bunuh gue kan?” kata gue.
Dia tersenyum, lalu menyikut gue, “Tapi bukan berarti gue ga akan berani bunuh, ehem, nyokap lu, atau bokap lu, atau ade lu ya.” Wajah gue memucat, lalu dia melanjutkan teror yang menyenangkan ini menurutnya, “Ya, lu ga mau kan liat nyokap lu terjun dari atap kantornya gitu, tanpa bola mata gitu kan?, hahaha.” Tambahnya.
Nafas gue mulai terengah-engah. Sekarang dia mendekatkan diri kepada gue, lalu membisikan sesuatu tepat di telinga gue.
Gue menunduk lesu, dia melingkarkan tangan ke bahu gue, “Ayolah Yog, ini demi keselamatan keluarga lu juga kan?”
“Gue bisa panggil polisi.” Ancam gue.
“Then try it. Kalo lu emang punya bakat detektif, harusnya tau kan kalo pengen nuduh seseorang butuh bukti, hahaha.” ujar dia.
“Gue punya liontin ini,” kata gue sambil berdiri, menjauh dari dia.
Dia tersenyum lagi, “Yuk pulang.”
Kami berjalan ke luar, lewat pintu tersembunyi yang kuncinya dari tadi dia kantongi. Seperti saat pergi tadi, gue menyetir motor gue dan dia duduk di belakang, sambil melingkarkan tangannya di pundak gue.
—
Esoknya.
Seisi kelas datang ke sekolah hari ini. Gue cukup takut dengan ancamannya yang dibalut senyuman seksinya tadi malam, tapi gue yakin kalau liontin ini bisa cukup membuktikan sesuatu, dia akan ditangkap sebelum terjadi apapun yang lebih menakutkan lagi. Gue datang pertama di sekolah, seperti biasa. Sekolah sangat sepi (berhubung hanya guru-guru dan murid dari kelas gue saja yang datang) dan rada angker.
Sekitar pukul 6.23, tepat lima menit sejak gue menginjakkan kaki ke lantai kelas, Manda datang, bersama dengan Fia, serius mengobrol soal sesuatu yang segera terhenti begitu melihat gue di kelas.
“Hai Yogi,” sapa Manda santai, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Gue tak membalasnya, hanya tersenyum, lalu kembali berpikir.
Tak sampai 15 menit kemudian, setengah isi kelas sudah penuh, lalu wali kelas kami, Bu Jena masuk ke kelas dan duduk di meja guru.
“Anak-anak, hari ini kalian akan ditanyai oleh Pak Pol, jangan rusuh dan coba kalian beri tau kepada polisi mengenai yang kalian tau ya.”
“Oke Bu.” Jawab kami berbarengan. Manda terlihat santai, murah senyum seperti biasa. Senyumannya pagi ini beda dengan senyumnya tadi malam, lebih ramah dan cerah, semangat menjalani hari. Salah satu temannya fia, asik mengobrol dengannya, cukup serius, sesekali dengan tawa dan candaan. Aldi dan Kori, dua tukang gosip kelas kami yang caper ngumpul bareng bersama cewek cewek yang sok membahas berbagai kemungkinan kejadian malang yang menimpa kedua teman kami itu.
“Oh iya anak-anak, jangan lupa ya nanti sore kita akan melayat kedua teman kalian di rumah duka. Ingat ya, jam 4 sore.”
“Iya Bu,” kembali seisi kelas menjawab berbarengan, tak terkecuali Manda dan Fia yang masih asik ngobrol. Mendengar teman-teman gue mencoba-coba berbagai kemungkinan kejadian membuat gue kesal, terutama karena gue sudah tau siapa dibalik semua ini dan karena pelakunya juga mengancam kehidupan keluarga gue (yang aman tentram dan damai) padahal tak berurusan dengannya.
Pukul 7 tepat, seluruh siswa sudah masuk, seorang polisi beserta seorang lagi berbaju hitam legam memasuki ruang kelas kami. Beberapa teman Lena dan Nandi dari kelas lain berdiri di pinggiran kelas. Hmm, gue yakin yang pakai baju hitam ini detektif polisi.
“Ya, adek-adek, perkenalkan, saya Briptu Bajon dan ini Bapak Fikli, beliau adalah investigator kasus ini,” jelas bapak yang berpakaian resmi polisi tersebut. “Hari ini kami ingin menanyai satu per satu dari kalian, di kelas sebelah, tapi sebelumnya, dari kalian semua, ada yang ingin bicara atau tau sesuatu?”
Refleks gue mengangkat tangan, sama seperti yang lain, Manda memperhatikan gue dengan tampang penasaran. Hmm, aktingnya bagus sekali, seolah-olah benar-benar tak tau apa-apa. Sekarang gue yakin kalau dia sebenarnya adalah psikopat yang rada-rada gila, tapi cantik.
“Ya, nama adek siapa dan mau bicara apa?”
“Sa..saya Yogi Pak, saya kebetulan menemukan sebuah liontin di dekat tangga menuju lantai atap dan saya yakin…”
“Barang itu milik pelakunya?” potong Bapak Fikli yang sedikit menunjukkan ketertarikan. Gue makin percaya diri.
“Iya, Pak, dan ketika dibuka di dalam liontin ini ada foto dan saya yakin orang di foto ini pelakunya.”
“Sebelum saya tanya dari mana kamu dapat barang itu, memang foto siapa yang ada di dalam situ,” lanjut Briptu Bajon, “Bisa tunjukkan kepada kita?”
“Bisa Pak, saya yakin orangnya ada di sini juga,” kata gue dengan suara lantang, beberapa anak berdiri untuk melihat ketika gue membuka liontin itu.
Manda diam, seperti yang lain, memperhatikan dengan seksama.
Lah?
Foto di dalamnya beda. Di sana terdapat foto Lena, foto Lena ketika masih kecil. Gue yakin tidak ada yang menyentuh barang ini, kok bisa.
“Ah, Yogi banyak gaya nih, orang di dalemnya foto Lena doang,” sahut Fia sambil menepuk-nepuk punggung gue. “Yah, gue kira apa Yog, banyak gaya lu,” kata Bagoy yang berada di kiri gue.
Belum selesai gue kaget, beberapa cewek, termasuk Manda mendatangi dan mengerubungi gue.
“Mana, mana, liat dong.”
“Seriusan punya Lena?”
“Wah, lu dapet dari mana Yog?”
“Gile, serem amat lu bawa-bawa liontin orang mati.” Ucap Kori dan Aldi
Namun, gue tak menggubris pernyataan semua yang berkomentar, mata gue fokus ke Manda yang mendatangi gue, lalu berkata dengan muka penasaran yang polos tak berdosa, “Mana Yog, gue mau liat dong.”
Tapi, mata gue tidak fokus kepada apapun di sini, selain liontin berantai emas yang dipakai Manda di lehernya saat ini, benda yang tadi pagi masih ada di kantong gue.
Komentar
Posting Komentar