ARTI DARI HARUM

Tokoh kita kali ini bernama Yudha Zakaria, seorang yang terobsesi menjadi seniman dan musisi hebat.

Aku masih ingat kali pertama bertemu perempuan itu, di pemakaman temanku. Dia berdiri di ujung jalan, berpakaian serba hitam, dengan rambut panjang terurai. Kesan pertamaku adalah: cantik. Perempuan itu berdiri dengan wajah datar, berbeda dengan ekspresi para pelayat lain, di bawah payung merah menyala terang. Seperti melihat melalui sebuah kamera film, perempuan itu terlihat jelas di mataku, menyisakan segalanya buram, buyar dalam ketidakpentingan.

Sebagaimana lazimnya seorang laki-laki, single tentu saja, melihat perempuan berpenampilan menarik, aku banyak mencuri pandang kepadanya. Aku tidak menghampirinya hari itu, tidak seberani itu. Pemakaman juga rasanya bukan tempat yang tepat untuk berkenalan dengan seseorang.

Anehnya, 
perempuan itu tidak berbaur ke dalam rombongan.

Padahal, aku mengenal hampir semua orang yang datang ke pemakaman Denis hari itu. Kami memang berteman baik. Berawal dari ikut ngeband bersama seorang penyanyi senior, beberapa peserta termasuk aku dan Denis membuat grup WhatsApp setelah acara musik berakhir, untuk “saling support dalam perjalanan bermusik”. Dari kelima anggota grup itu, aku lebih banyak berinteraksi dengan Denis. Dia tahu aku terobsesi untuk menulis lirik lagu yang sempurna. Mungkin, karena itulah kami cocok. Sama-sama ambisius. Jadi, aku cukup terpukul ketika dia meninggal.

Perempuan itu tidak berdiri dekat kuburan. Dia tidak berbicara kepada siapa pun. Lalu, ketika hari mulai sore, dia pergi begitu saja. Dia seperti datang hanya untuk menonton pemakaman, bukan untuk mengantarkan. Itu dua hal yang berbeda, kan?

Perempuan ini begitu berkesan sampai membuatku membuka notes di handphone. Sebagai penulis lirik dan musisi, aku terbiasa mencatat peristiwa unik yang muncul, dalam satu kalimat. Untuk modal lirik laguku dan sumber inspirasi nanti. Saat itu, aku menulis: perempuan cantik di pemakaman. Dia menjadi perempuan lain, yang aku lewatkan dalam hidupku.

Kejadian itu lewat begitu saja. 

Namun, takdir kadang suka bercanda.

Aku bertemu kembali dengan perempuan ini, dua tahun kemudian. Kali ini di rumah duka seorang tetangga yang meninggal sehabis bermain basket. Lagi-lagi, perempuan itu tidak membaur. Dia duduk di seberang jalan. Di pelipir, di tepi got yang tertutup rapi. Aku ingat dia, karena aku ingat payung merah itu. Aku ingat dia, karena lagi-lagi, hanya dia terlihat jelas, sementara hal lain mendadak jadi buram.

Seperti sebelumnya, perempuan itu tidak berbicara kepada siapa pun, hanya diam, sesekali memejamkan matanya, lalu memberikan gestur menghirup udara dalam-dalam. Tindakan yang aneh, mengingat dia ada di sebelah got.

Kehadiran dia kali ini terlalu menarik untukku. Seorang musisi dan penulis lirik lagu senang dengan kebetulan-kebetulan ajaib macam ini. Ada dorongan kuat untuk menghampirinya. Aku pun melakukan hal yang tidak biasa kulakukan: mengajak ngobrol orang asing.

‘Enggak masuk?’ tanyaku kepada perempuan itu, menunjuk ke arah rumah. Seorang musisi harus membuka obrolan dengan kalimat yang menarik dan keren, langsung pada intinya. Ini kalimat terbaik dari beberapa opsi di kepalaku.

‘Di sini saja,’ katanya.

‘Yudha,’ kataku, menyodorkan tangan.

‘Ayu,’ katanya. Dia membalas jabatan tanganku.

Untuk kali pertama di kepalaku, perempuan ini jadi punya nama.

‘Boleh duduk?’

‘Boleh.’

Aku duduk di sebelahnya. Mencuri pandang, aku memperhatikan Ayu. Dia memakai kaus hitam, celana jeans, sepatu putih bersih. Rambutnya tergerai panjang, cantiknya masih sama dengan dua tahun yang lalu.

Aku berkata kepada Ayu, ‘Kebetulan ya kita bisa ketemu dua kali.’

‘Dua kali?’

‘Iya. Aku pernah melihatmu, di pemakaman Denis,’ jawabku. ‘Dua tahun lalu. Sekarang ketemu lagi di pemakaman orang lain. Kebetulan yang aneh, ya?’

‘Denis?’ tanya Ayu.

‘Iya, Denis,’ jawabku. 

Raut wajah Ayu tampak kebingungan. Di saat ini, aku baru mengerti. Dia tidak tahu siapa Denis. Dia tidak tahu pemakaman siapa yang dia datangi, dua tahun lalu. Aku bertanya, ‘Ini, Pak Aji, meninggal abis main basket. Kamu kenal, kan?’

Ayu menggeleng. ‘Aku tidak pernah kenal orang-orang itu.’

‘Lah, kok kamu ke sini?’

Ayu tidak menjawab apa-apa, dia hanya menunjuk hidungnya.

‘Kenapa hidungnya?’ tanyaku, penasaran.

‘Obrolan ini kayaknya terlalu pribadi untuk dua orang yang baru kenal,’ kata Ayu. Dia lalu tersenyum. Dia lalu menatap ke arah rumah Pak Aji.

Aku mulai bingung, kalimat Ayu tadi seperti tantangan buatku. Rasa penasaranku membuncah, mencoba menguak Misteri Hidung Ayu. Melihat gelagatnya, tidak mungkin aku memaksa dia untuk bercerita. Jadi, aku mencoba membuka obrolan ke hal lain.

Ayu cukup terbuka ketika topiknya berbeda. Di pinggir jalan itu, obrolan basa-basi kami mengalir. Perempuan ini mulai utuh di kepalaku. Aku tahu Ayu lulusan sebuah perguruan tinggi swasta yang baru saja masuk berita karena ada kasus narkoba. Dia masih mencari pekerjaan.

‘Susah kalau gak ada orang dalem,’ kata Ayu. Dia diam sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya, setengah tertawa, ‘Atau itu hanya alasanku aja ya, karena aku gak laku?’

‘Di pekerjaan terakhirku, kebetulan aku tidak pakai orang dalam. Aku pakai keberuntungan,’ kataku. ‘Kamu pasti bisa juga, kok. Banyak-banyakin ngelamar aja.’

‘Kamu kerja di mana?’

‘Kurir Shopee. Dulu. Aku udah resign, mau fokus jadi musisi.’

‘Kenapa mau jadi musisi?’ tanya Ayu.

‘Aku suka bercerita lewat lagu,’ jawabku. ‘Hal paling menyenangkan buatku adalah mengubah imajinasi di kepala menjadi cerita yang banyak orang bisa dengarkan. Duduk, diam, di dalam rumah. Hanya aku, kepalaku, dan kertas kosong yang menunggu diisi dan senandung irama yang belum tersentuh kata-kata.’

‘Keluar rumah, ke pemakaman begini, kurang menarik dong, buatmu?’ tanya Ayu.

Aku menggeleng kecil. ‘Pemakaman justru muara cerita paling menarik. Di tiap pemakaman, di luar, di bawah tenda, di antara kursi para pelayat, kita bisa dengar cerita tentang orang yang meninggal ini. Cerita baiknya dia, cerita hebatnya dia. Pada akhirnya, yang tersisa dari kita ini, Ayu, adalah cerita untuk disampaikan lewat alunan musik dari orang ke orang.’

‘Kita sudah tidak ada, tapi ceritanya berjalan?’

‘Manusia sementara, ceritanya yang abadi,’ kataku. ‘Aku mau menulis lirik cerita yang seperti itu. Lirik tentang cerita yang sempurna.’

Ayu tertegun. Matanya terlihat berbeda. ‘Menarik banget. Aku tidak pernah berpikir seperti itu tentang pemakaman.’

‘Maaf ya, aku aneh,’ kataku, menggaruk kepala.

Itu adalah kalimat terakhir sebelum kami bertukar nomor WhatsApp.

*

Memang, awalnya aku berniat memecahkan misteri hidung Ayu, tetapi aku dan Ayu malah larut ke dalam masa saling mengenal satu sama lain yang terlalu dalam. Rasa penasaran atas hidungnya itu pun terlupakan olehku, begitu saja. Salahkan ini pada obrolan kami ternyata banyak kecocokan: kami menyukai lagu dan buku yang sama, makanan ringan yang sama, serial Anime yang sama. 

Seperti menonton film dengan kecepatan 1.5x, dan memencet pause di adegan-adegan seru, hari-hariku berjalan juga seperti itu. Hanya berhenti di waktu-waktu bersama Ayu. Malah, waktu berjalan lambat bersamanya.

Sepanjang hari kerja, pekerjaanku hanya melamun dan menulis quotes quotes aneh setiap harinya. Aku belum menghasilkan apa-apa, hidupku masih berpegangan pada tabungan semasa kerja. Ketika weekend datang, pemeran utamanya adalah aku dan Ayu. Semua kegiatan cute date kami lakukan. Dapat inspirasi dari TikTok, kami pergi warkop date, kencan sambil makan mi Ayam, yang terlalu asin. Di waktu yang lain, kami kencan di perpustakaan, di balik rak buku penuh debu. 

‘Jangan lama-lama ya, nanti asma aku kumat,’ kata Ayu. 

‘Aku udah dari tadi,’ balasku.

Kadang, ketika weekend tiba, dan aku sedang menggebu-gebu ingin menulis lagu, Ayu akan menemaniku seharian di kafe langganan, dengan buku dan handphone di tangannya. Dia tenggelam dalam kata-kata di bukunya. Aku merangkai kata dalam Google Docs dan Instagram. Setiap kali aku mumet, aku berdiri, lalu berjalan kaki di parkiran kafe. Ini selalu membantuku lebih gampang untuk berpikir.

Pada suatu sesi menulis lirik, aku berkata, ‘Beres nih laguku.’

‘Kamu bikin apa?’ tanya Ayu.

‘Lagu buat slogan lokal kota depok,’ kataku. ‘Mau tahu ritualku kalau lirik sudah selesai, gak?’

Ayu mengangguk.

Aku perlihatkan kebiasaanku itu: setiap selesai menulis lirik, tepat di titik terakhir lagu tersebut, tombolnya aku pencet keras-keras lalu aku tahan sehingga yang terlihat seperti ini: ............................................…… Sebuah rangkaian titik yang panjang.

‘Kenapa harus berlebihan begitu?’ tanya Ayu.

‘Biar puas aja,’ kataku, nyengir lebar. ‘Nanti paling sama aku dikurangi lagi dan dibuat satu aja titiknya.’

‘Musisi emang aneh-aneh ya,’ kata Ayu.

‘Itu modal kami,’ kataku.

Lagu itu terbit di spotifyku. Aku hanya tahan mendengarnya selama dua menit, karena aku merasa lagu itu jelek sekali. Banyak kesalahan yang kubuat: tema lagu tidak tersampaikan, kata-katanya terlalu alay, deskripsi adegannya dalam lirk juga terasa “kering”. Aku harus menulis lagu baru. Dengan cerita yang lebih bagus. Cerita yang sempurna.

Ayu selalu jadi teman curhatku di seluruh proses kreatifku. Ketika ide habis, dia ikut membantu mencarikannya. Kami browsing internet, ngobrol, dan brainstorming. Dia membantuku menyortir notes-notes random yang ada di handphone-ku. Di hari yang baik, aku bisa dapat sampai tiga ide lirik baru. Di hari yang buruk, tidak dapat apa pun, tetapi setidaknya, aku menghabiskan waktu berdua dengan Ayu. Itu tidak pernah sia-sia.

Ayu pernah bertanya, ‘Kenapa kamu gak tulis lirik tentang cerita hidupmu?’

Aku menjawab, ‘Hidupku tidak menarik. Tidak ada yang pantas disampaikan.’

Aku memang dari dulu sendirian. Tidak punya teman, apalagi sahabat. Keluarga juga sibuk bekerja. Orang tua yang kerja di perusahaan media sering tidak tersedia di tanggal merah.

Mungkin inilah kenapa aku jadi musisi, karena hidupku sendiri tidak bagus untuk didengarkan. Aku ingin membuat kenyataan yang lain dari hidupku sendiri.

Delapan bulan aku dan Ayu saling kenal, cinta timbul tanpa aba-aba. Pada sebuah hari mendung, pulang dari makan di pinggir jalan, menuju parkiran, gerimis turun dan puncak kepala kami mulai basah. Selembar karton aku ambil dari pinggir jalan sore itu, lalu kami berteduh berdua. Baju kami basah, tapi anehnya, kami merasa hangat. Di saat ini, cinta turun di bawah payung karton.

‘Aku sayang kamu,’ kataku.

‘Aku juga sayang kamu,’ balas Ayu.

*

Seperti menonton film dengan kecepatan 1.5x, tahu-tahu hidup berjalan satu tahun. Aku masih menjual laguku di berbagai media, seperti Instagram, spotify, YouTube. Kadang menulis lirik, kadang menulis quotes. Lagi-lagi semua yang aku tulis, tidak bisa aku baca ulang, karena setiap selesai menulis lirik, aku merasa tulisanku masih saja buruk. Aku terus berusaha mencari cerita terbaik untuk dijadikan lagu. 

Pada saat yang sama, sebuah production house music menawariku untuk menulis lagu seram. Kesempatan yang tidak aku sia-siakan. Produser memintaku menulis lirik lagu yang horor, karena itu genre yang akan dipakai di film layar lebar. Aku ikuti, meskipun aku bukan penggemar horor. Aku habiskan seluruh waktuku untuk belajar dan menulis sedikit demi sedikit liriknya.

Ayu akhirnya diterima bekerja sebagai produser podcast untuk seorang dosen Universitas Indonesia, tanpa orang dalam. Tugas utamanya mengelola podcast ini dan menjadikannya kekinian. ‘Kamu kan masih 23 tahun, bisalah bikin podcast saya jadi keren,’ kata si dosen.

Setiap Senin, mereka meeting. Si dosen selalu mengubah-ubah konsep podcast-nya, tergantung apa yang dia lagi dengarkan weekend sebelumnya. 

‘Masukin jokes ya,’ kata si dosen itu. ‘Bikin jadi kayak podcast komedian itu. Lucu sekali si Indra Frimawan dan Jerigen itu.’

Di Senin berikutnya: ‘Selain Deddy Corbuzier belum ada lagi podcaster botak kan, ya? Apa saya plontos aja? Gimana Ayu?’

Lalu, Senin berikutnya: ‘Studio ini lumayan angker, sih. Beneran. Kita bikin cerita-cerita horor aja. Lagi rame tuh. Kamu bisa kesurupan, gak?’

Setiap akhir pekan, kami masih rutin pergi keluar rumah. Istirahat sejenak dari pusingnya bekerja. Ngobrol sampai yang tersisa hanya keheningan yang nyaman. 

Pada suatu malam yang banyak nyamuk, entah bagaimana, obrolan kami mengarah ke rahasia masing-masing.

Aku cerita pernah mencuri mangga dari rumah tetangga ketika kecil. Ayu cerita tentang dulu pernah melihat orang mencuri motor di dekat rumahnya, Ayu tahu siapa orangnya, tapi dia tidak berani mengatakan pelakunya. Sampai sekarang.

‘Lebih rahasia lagi dong,’ kataku. ‘Yang paling bikin kaget.’

Ayu terdiam. Dia menimbang-nimbang sebentar, lalu berkata, ‘Kamu ingat gak aku kadang suka minta waktu sendiri. Itu sebenarnya ada kegiatan yang aku gak pengin kamu tahu.’

‘Ayu, jangan macem-macem, deh.’ Aku menggeleng-gelengkan kepala.  ‘Jangan bilang kamu sebenernya … begal, ya?’

‘Gak gitu, ya.’ Ayu menunjuk hidungnya. ‘Ini, rahasiaku. Hidungku.’

‘Ah, itu misteri yang aku sudah lupa untuk aku pecahkan. Untung kamu ingetin.’ Aku mendekati Ayu, rasa penasaran itu timbul kembali. ‘Jadi, kenapa hidungmu?’

‘Janji kamu tidak akan menganggap aku aneh?’ tanya Ayu.

‘Tidak ada yang seaneh aku, Ayu.’

Ayu menghela napas. Dia memegang tanganku. Dia lalu berkata, ‘Aku bisa mencium kematian.’

‘Maksudnya?’

‘Dari kecil, aku bisa mencium kematian. Ketika ada orang meninggal, baunya harum sekali. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak datang melihat pemakaman. Karena baunya … begitu mengundang.’

‘Oh, makanya, waktu Denis meninggal ….’

‘Denis siapa? Oh, iya. Denis. Itu namanya.’ Ayu memegang tanganku. ‘Jadi, ketika aku pura-pura sibuk, sebenarnya aku beberapa kali pergi ke pemakaman orang. Duduk di luar, hanya untuk mencium baunya.’

Tentu aku tidak percaya, orang macam apa yang bisa mencium kematian. Namun, aku melihat sendiri dengan mata kepalaku, bagaimana Ayu begitu meyakinkan.

‘Kamu sekarang tahu, kan, jadi aku gak perlu pura-pura ada kegiatan lagi,’ kata Ayu.

Lalu kami berpelukan.

*

Berbulan-bulan bergadang untuk menulis lirik, akhirnya lirik pertamaku untuk layar lebar selesai juga. Produser puas, dan shooting dijadwalkan secepat kilat. Tahu-tahu, filmnya tayang di bioskop. Filmnya sukses besar. Judulnya Berenang dalam Kubur, film horor tentang pocong yang dulunya perenang hebat. Setiap kali dia gentayangan, dia terbang dengan gaya punggung, tanpa tangan, tentu saja.

Anehnya, kesuksesan Berenang dalam Kubur membuka rongga yang dalam di hatiku. Aku sebenarnya tidak puas melihat hasil jadi laguku yang tidak banyak diputar difilmnya, tetapi orang-orang malah menyukainya. Produser memintaku lagi membuat yang serupa. Production House Music lain berebut ingin membajakku. Aku melakukan apa yang bisa aku lakukan: terus menulis lirik.

Ayu punya masalahnya sendiri. Semakin lama, dia semakin peka dalam mencium kematian. Kadang, dia bisa mencium orang yang hendak meninggal. ‘Tukang nasi goreng di dekat rumah, baunya lumayan harum pagi itu,’ kata Ayu. ‘Malamnya, dia meninggal dalam tidur.’

Ini membuat Ayu tersiksa. 

Ketika di mall, Ayu beberapa kali minta pulang, karena bau harum itu. Kata Ayu saat menuju parkiran, ‘Tahu mas-mas yang pakai topi hijau di depan cafe tadi? Ada harum kematian keluar dari badan dia. Aku gak tahan ngebayangin bagaimana hidupnya akan berakhir.’ 

‘Gak enak ya, rasanya?’

‘Mengetahui kapan orang tersebut mati, itu hal yang terburuk.’

‘Kamu gak mau ngasih tahu kalau orang itu akan mati? Siapa tahu dia bisa jaga-jaga?’

‘Lalu apa? Bikin dia stres dan kepikiran?’

‘Iya juga, sih,’ kataku.

‘Lagian, kita gak bisa melakukan apa-apa juga. Jika sudah saatnya, maka sudah saatnya,’ kata Ayu.

Di atas motor, mata Ayu kosong. Dia hanya memandangi jalan di depannya.

‘Kamu baik-baik saja?’ tanyaku.

‘Kita hidup hanya meminjam waktu, Yudha,’ kata Ayu. ‘Entah berapa sisa detik kita di dunia. Kapan aja bisa selesai, ya.’

‘Serem banget omonganmu.’

‘Betapa seringnya kita hidup tapi gak pernah ngerasain hidup, Yudha. Betapa seringnya momen itu lewat. Momen kaya gini.’

‘Ayu,’ kataku. ‘Kok kamu ngomong gitu, sih?’

‘Aku mau kita menikmati momen ini. Sebentar saja.’

Aku memegang tangannya. Momen itu kami nikmati. Aku, Ayu, dan kilau lampu kota malam itu.

Menjawab kekosongan, aku membuat lirik lagu untuk film layar lebar lagi. Filmnya kembali sukses. Aku kembali kosong. Begitu pun berikutnya. Berikutnya. Seperti disiksa roda kreatif, selalu ada karya keluar dari pikiran, tetapi selalu ada rongga yang dibuat. Aku tidak bahagia lagi menulis itu, karena aku semakin jauh dari menulis lirik cerita terbaik itu.

Seorang teman bilang aku kurang bersyukur. ‘Lo punya duit, follower banyak, banyak yang mengajak kerja dan diliat banyak orang terkenal,’ katanya. Mungkin dia benar, tetapi perasaan ini tidak bisa aku bohongi. Perasaan kenapa aku menulis semua ini?

Untuk ulang tahun podcast tempat kerjanya, Ayu mengundangku jadi bintang tamu. Aku take podcast bersama si dosen, bosnya Ayu. Sebelum shooting, ketika briefing, si dosen minta ada gimmick yel-yel dari salah satu anak magang. ‘Podcast PWK sering buat yel-yel random dan nyanyi bersama narasumbernya, di Vindes pun sama. Lalu ngelakuin hal random di studio. Lucu gitu, jadi kita mau coba kayak gitu. Anak magang, kamu jadi seperti itu ya, buat secepat kilat lirik random gitu, kamu kan penulis lirik lagu.

Obrolan selama podcast berlangsung lancar. Di ujung podcast, si dosen berkata,‘Saya pernah mencoba bikin lirik lagu.’

‘Keren tuh, Pak,’ kataku.

‘Nah, saya punya pertanyaan.’ Dosen itu membenarkan posisi mik podcast-nya. ‘Bagaimana kita tahu liriknya sampai ke para pendengar?’

‘Kalau sudah menyentuh di hati.’

‘Maksudnya?’ 

‘Kalau sudah saatnya menyentuh hati.’

‘Ya, kapan?’

‘Kadang penulisnya sendiri tidak tahu. Setiap lirik punya nasibnya sendiri. Tapi lirik selalu tersampaikan, ketika dia harus tersampaikan.’

Dosen itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba Anak magang masuk, mengeluarkan yel-yel dan membanting meja dan habis itu bernyanyi bersamaku.

*

Dalam perjalanan menuju stasiun kereta, Ayu menemaniku. Seperti biasa, ketika kami di motor berdua, aku memegang setir dengan tangan kanan, sementara Ayu menggenggam tangan kiriku. Menikmati momen dalam hening. Menikmati nyamannya kami berdua.

Sore itu aku akan berangkat ke Surabaya untuk mendatangi sebuah promo film yang ku isi soundtracknya. Sudah biasa kami seperti ini: aku memarkirkan motor di stasiun, kami lalu ngopi berdua menunggu kereta, kami berpelukan, aku naik kereta, lalu Ayu menyetir motorku pulang.

Ketika berjalan ke kafe dekat stasiun, mataku mengarah ke depannya. Seorang pedagang balon memberikan sebuah balon kepada anak yang sedang menangis. Aku membuka notes handphone, dan mencatat adegan tersebut dengan satu kalimat: pedagang balon yang susah laku karena tiap ada anak menangis dia memberikan balonnya. Lumayan, buat modal lirik laguku nanti.

Di kafe, aku jadi membongkar-bongkar notesku. Kesal, kenapa dengan notes sebanyak ini, aku belum juga bisa menulis lirik terbaik yang bisa aku banggakan. Lalu terbaca kembali notes lama itu: perempuan cantik di pemakaman. Notes bertahun-tahun yang lalu. Notes ketika dia masih belum bernama di hidupku.

Aku melihat ke arah Ayu yang sedang memesan kopi.

Lalu aku tertawa kecil.

Lucu juga bagaimana hidupku menulis ceritanya sendiri. Lucu bagaimana setiap hari pekerjaanku mencari cerita yang sempurna, sampai-sampai aku lupa aku sedang menjalani cerita yang jauh lebih sempurna daripada apa pun yang bisa keluar dari kepalaku.

Seperti kata yang terangkai menjadi kalimat, yang terangkai menjadi paragraf, yang utuh menjadi cerita. Serpihan-serpihan peristiwa yang aku alami bersama Ayu telah terangkai menjadi sebuah cerita indah. Sebuah cerita cinta tentang dua orang yang saling menemukan satu sama lain.

Ayu membawa dua gelas kopi. Dia tidak berkata apa-apa. Dari motor, dia memang tidak berkata apa-apa. Mungkin, dia sedang tidak mood untuk bercerita. Aku tidak pernah memaksakan Ayu untuk menceritakan perasaannya, kalau dia memang tidak ingin.

Perempuan ini masih sama dengan perempuan yang aku temui di pemakaman Denis. Bedanya, payung merah itu sudah rusak, sudah lama dipensiunkan. Sekarang dia hanya membawa payung kecil hadiah lomba sebuah bank.

Aku memandangi mata Ayu, mata teduh itu. Lalu aku larut di dalamnya. Di matanya, aku menulis kembali lagu dari cerita kami, di masa depan nanti. Seperti film yang bermain di pupil matanya, aku membayangkan, melihat siluet kami bergandengan tangan. 

Adegan-adegan itu tergambar: Ayu menemaniku kerja, aku menemaninya curhat. Kami tertawa dan menangis. Kami menggendong seorang anak, yang entah namanya siapa. Kami pelan-pelan tambah tua, dan tambah menguatkan. Kami, keriput dan lelah, duduk berdua di suatu taman, berpelukan. Semua adegan di masa depanku dan Ayu, tersusun tanpa usaha.

Ini yang aku cari. Ini cerita yang sempurna. 

Cerita aku dan Ayu.

Namun, ini bukan untuk ditulis menjadi lirik, ini untuk dijalani. 

Untuk kami nikmati berdua saja.

Aku menghela napas panjang. Momen ini terlalu indah untuk tidak diresapi. Bibirku lalu bergerak sendiri, mengabaikan otak, mengikuti hati. Aku berkata ke Ayu, ‘Aku mau menikahi kamu.’

Ayu masih diam saja. Dia tampak muram.

‘Terlalu cepat, ya?’

Dia menggeleng. Ayu melihat ke arah wajahku, air mata menggenang di ujung matanya. Dia berkata, ‘Aku takut.’

‘Lho, lho, kenapa takut?’

Ayu menggeleng.

‘Wajar kalau kamu takut, pernikahan itu keputusan besar. Kamu mungkin perlu waktu untuk berpikir, kamu mungkin masih ingin untuk—’

‘Aku mau menikah dengan kamu,’ kata Ayu. ‘Tapi aku takut.’

Ayu memelukku. Semakin lama semakin kencang. Dia menggaruk hidungnya, menghapus air matanya. Aku melepas pelukan, lalu melihat wajahnya, dia paling cantik kalau sore-sore seperti ini. ‘Lagi gak enak badan?’

‘Enggak.’

‘Terus?’

Ayu menggandeng tanganku. ‘Jangan naik kereta itu, ya.’

‘Kenapa?’ tanyaku.

‘Aku masih mau sama kamu.’ Ayu menarik tanganku. ‘Jalan-jalan aja, yuk, Batalkan naik kereta itu.’

‘Oke,’ kataku. ‘Apa pun yang kamu mau, ke mana pun kamu minta.’

Aku membuka pintu kafe, melangkah keluar dari stasiun, bergandengan tangan. Di pinggir jalan, aku melihat anak kecil lain, baru saja mendapatkan balon dari si pedagang baik hati. Si anak tersenyum lebar, membawa balonnya pergi. Pegangannya mengendur, balonnya terlepas, terbang ke arah jalan raya. 

Refleks, aku berlari mengejar balon tersebut, mencoba untuk segera mengambilnya sebelum hilang dibawa angin. Aku berlari kencang, ke tengah jalan. Lalu, semua berjalan begitu lambat.

Termasuk bunyi klakson yang perlahan terdengar mendekat. 

Begitu nyaring. Begitu panjang. 

Seperti barisan titik yang biasa aku buat, 
di akhir sebuah lirik laguku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANDA MEMBUAT GILA

KENAPA HARUS TEMAN?

SATU TAHUN KAMU HILANG